Akhir Pertengkaran Purnawirawan Jenderal soal Gibran

Gambar ilustrasi

HARIAN KALBAR (PONTIANAK) – Seminggu ini kita menyaksikan sebuah opera sabun politik berjudul “Purnawirawan Bertikai, Gibran Tercekik.” Pertengkaran di tingkat bawah pun tak terelakkan. Saya pun ikut jadi sasaran. Untungnya, ada kopi yang selalu membuat otak encer dan waras.

Ceritanya dimulai ketika sekelompok purnawirawan jenderal mengusulkan agar Wakil Presiden Gibran diganti. Alasannya? Demi konstitusi! Demi masa depan! Demi… rating talkshow politik di jam malam! Mereka ingin MPR turun tangan. Serius. MPR, wak. Lembaga yang biasanya muncul sekali dengan Sidang Tahunan MPR.

Bacaan Lainnya

Belum sempat rakyat mencerna drama ini, muncul geng purnawirawan jenderal lainnya. Mereka bilang, “Jangan ganggu Gibran. Stabilitas politik harus dijaga.” Maka, pecahlah pertengkaran tingkat tinggi. Yang satu bawa pasal, yang satu bawa nostalgia. Sementara rakyat di bawah, entah harus mendukung siapa, akhirnya memilih mendukung diskon TikTok Shop.

Lalu datanglah acara penyelamat bangsa, Halalbihalal Purnawirawan TNI di Balai Kartini. Reuni akbar ini dihadiri Prabowo Subianto, presiden terpilih yang kini tampil seperti komandan upacara dengan aura kehangatan dan sedikit efek slow motion. Ia datang, ia tersenyum, ia… menyanyikan Hymne Taruna Akmil bareng Wiranto dan Hendropriyono. Tak tanggung-tanggung, AHY diminta jadi dirigen. Sebuah momen magis, lagu dinyanyikan, kamera menyorot, dan rakyat terenyuh… atau bingung.

Sebelum pidato, Prabowo memberikan hormat pada Try Sutrisno. Sebuah gestur yang membuat seisi ruangan diam sejenak, lalu tepuk tangan membahana. Di rumah, netizen pun terdiam.

Dalam pidatonya, Prabowo menolak tudingan bahwa TNI ingin kembali berkuasa. Katanya, TNI itu sudah mundur dari politik dengan sukarela, seperti orang yang pamit dari grup WA tapi tetap kepo isinya. Ia bicara soal reformasi, tentang pentingnya anak muda memimpin, dengan gaya yang membuat kita bertanya-tanya apakah ini halalbihalal atau pidato kenegaraan dadakan.

Tak ketinggalan, Prabowo mengenalkan Sekolah Rakyat, program pendidikan bagi anak-anak miskin. Ia tampilkan profil siswa calon penerima beasiswa. Mengharukan, tentu saja. Tapi di Tiktok muncul komentar, “Apakah ini soft-launching atau teaser film dokumenter?”

Luhut juga hadir. Seperti biasanya, beliau mengingatkan tentang ancaman asing dan pentingnya persatuan. Meskipun tidak dijelaskan siapa ‘asing’ itu, rakyat mengangguk-angguk, karena memang lebih gampang percaya teori konspirasi dari memahami mekanisme MPR.

Uniknya, semua tokoh dari kubu yang sempat ribut, berkumpul, duduk semeja, dan tertawa bareng sambil menyantap lemper dan pastel. Sebuah pemandangan yang membuat kita sadar, pertengkaran elit itu seringkali seperti gulat WWE, penuh drama, tapi ujung-ujungnya saling tos di balik panggung.

Sementara itu, rakyat tetap ribut di media sosial. Grup WA alumni jadi ajang debat konstitusi. Warganet saling serang pakai kutipan undang-undang dan meme lucu. Di warung kopi, Wak Dalek dan Wan Dolah berdebat hebat, sampai lupa bayar kopi.

Akhir kata, negeri ini memang unik. Para pensiunan jenderal bisa membuat gempa politik, lalu berdamai dengan nyanyi-nyanyi. Rakyat? Tetap jadi penonton setia, sambil berharap suatu hari bisa ikut nyanyi, bukan cuma tepuk tangan dari jauh. (*)

Penulis : Ketua Satupena Kalbar, Rosadi Jamani.