SD Filipi Bantah Tuduhan Diskriminasi dalam Penerimaan Siswa ABK

SD Filipi Sekadau. Foto ist.

HARIAN KALBAR (SEKADAU) – Pihak Yayasan dan SD Filipi membantah tudingan diskriminatif yang dilayangkan oleh salah satu calon orang tua siswa, Khelvin Chandra, terkait proses penerimaan peserta didik baru tahun ajaran 2025. Klarifikasi disampaikan pada Rabu malam 18 Juni 2025, menyusul laporan Khelvin ke Komisi III DPRD Sekadau sebelumnya pada hari yang sama.

Ketua Yayasan Filipi, Bayu Dwiharsoni, menegaskan bahwa keputusan untuk tidak menerima anak berkebutuhan khusus (ABK) bukanlah bentuk diskriminasi, melainkan pertimbangan realistis atas keterbatasan fasilitas dan sumber daya sekolah.

Bacaan Lainnya

“Tidak ada maksud sedikit pun untuk mendiskriminasi. Kami harus jujur dengan kemampuan kami saat ini,” ujar Bayu dalam konferensi pers di ruang guru SD Filipi.

Menurut Bayu, keputusan tersebut diambil pada 1 Juni 2024 dan ditegaskan kembali pada 17 Februari 2025, berdasarkan masukan dari para guru. Saat ini, SD Filipi baru beroperasi selama dua tahun, dengan hanya dua kelas aktif—kelas II dan III—dan baru membuka kelas I tahun ini dengan jumlah siswa 26 orang. Tiga di antaranya adalah anak ABK.

“Para guru menyampaikan bahwa mereka belum siap menangani tambahan anak ABK, karena keterbatasan kemampuan dan belum adanya dukungan tenaga profesional,” jelas Bayu.

Ia juga mengungkapkan bahwa hasil pemeriksaan psikologis terhadap anak dari Khelvin Chandra, yang dilakukan pada 8 Februari 2025, menunjukkan bahwa anak tersebut memerlukan metode pembelajaran khusus, guru khusus, serta pendamping belajar—fasilitas yang saat ini belum tersedia di SD Filipi.

“Tanggal 6 Mei kami menyurati Dinas Pendidikan dan dijawab pada 19 Mei bahwa anak ABK memang berhak mendapat pendidikan inklusif. Namun, dengan catatan bahwa sekolah harus menyediakan guru spesifik, kurikulum khusus, pendamping, dan sarana pendukung. Itu semua belum mampu kami penuhi,” paparnya.

Pihak yayasan juga mengklaim telah mengirimkan surat pada 10 Mei kepada orang tua calon siswa untuk mengajak berdiskusi secara langsung, namun hingga saat ini belum terjadi komunikasi dua arah.

Pembina Yayasan Filipi, Pendeta Ubernelius, menambahkan bahwa persoalan ini sebaiknya diselesaikan secara kekeluargaan, dan pihaknya tidak pernah berniat mendiskriminasi siapa pun dalam proses penerimaan siswa.

“Langkah audiensi ke DPRD merupakan jalan baik untuk mencari solusi. Tapi tudingan diskriminasi seperti yang berkembang di media, tidak berdasar,” kata Pendeta Uber.

Ia juga mengakui bahwa menangani anak ABK memerlukan sumber daya yang belum dimiliki sekolah saat ini. Namun ia berharap, ke depan jika mendapat dukungan pemerintah, SD Filipi dapat membuka ruang bagi siswa berkebutuhan khusus.

Sementara itu, Kepala SD Filipi, Jelin, menjelaskan bahwa keputusan untuk tidak menerima siswa ABK tahun ini merupakan hasil musyawarah internal antara guru dan yayasan.

“Saat ini kami memang memiliki beberapa anak ABK di kelas I dan II, namun guru-guru belum memiliki kompetensi dan alat penunjang yang memadai. Itu menjadi bahan evaluasi bagi kami,” ujar Jelin.

Ia menambahkan, pada 19 Maret 2025, pihak sekolah sudah mengundang orang tua siswa untuk menyampaikan secara langsung alasan keputusan tersebut.

“Penanganan anak ABK memerlukan guru dengan latar belakang psikologi pendidikan, kurikulum khusus, dan sistem penilaian berbeda. Kami belum memiliki itu semua,” pungkasnya. (AL)