Dapat Perlakuan Diskriminatif Pihak Sekolah Filipi, Orang Tua Adukan Sekolah ke DPRD Sekadau

Khelvin Chandra, saat beradensi ke Komisi III DPRD Sekadau, Rabu 18 Juni 2025, pagi. Foto ist.

HARIAN KALBAR (SEKADAU) – Mendapatkan pendidikan merupakan hak setiap anak bangsa. namun berbeda perlakuan yang diterima orang tua salah satu siswa alumni Taman Kanak – kanak (TK) Yayasan Filipi Sekadau.

Pasalnya, keluarga Khelvin Chandra, (orang tua siswa) gagal melanjutkan pendidikan anak mereka di Sekolah Dasar (SD) di yayasan ini (Filipi) dilatar belakangi sang anak merupakan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).

Bacaan Lainnya

Untuk mencari keadilan, Rabu, 18 Juni 2025, Khelvin Chandra mengadu ke DPRD Kabupaten Sekadau.

Di hadapan ketua serta anggota Komisi III DPRD dan pihak yayasan Filipi, Khelvin mengakui bahwa anaknya mengalami keterlambatan bicara (speech delay), kesulitan fokus, dan keterbatasan dalam interaksi sosial. Meski demikian, kemampuan akademik sang anak dinilai sangat baik, bahkan di atas rata-rata anak-anak sesuainya.

“Bahkan, sejak usia 3 tahun, anaknya sudah bisa membaca dan menulis serta selalu menyelesaikan tugas sekolah dengan baik,” papar Khelvin.

Selain itu, Khelvin menjelaskan, berdasarkan hasil pemeriksaan psikologis dari profesional berkompeten, anaknya memiliki IQ 121. Ini menunjukkan potensi kecerdasan yang tinggi, meski membutuhkan pendekatan pendidikan yang berbeda.

“Namun, harapan agar anak kami diterima dengan inklusif justru terhambat oleh syarat yang tidak realistis dari pihak sekolah,” ucap Khelvin.

Khelvin menjelaskan, pihak SD Kristen Filipi mensyaratkan adanya guru pendamping (shadow teacher) dengan latar belakang pendidikan S1 Psikologi, bersertifikat, dan berpengalaman, yang dinilai sangat memberatkan.

Terlebih, di Kabupaten Sekadau sangat sulit untuk mendapatkan guru pendamping sesuai syarat yang dimaksud. Walaupun ada guru dengan latar belakang psikologi seperti yang disyaratkan, tentu sudah berpraktik secara mandiri dan tidak bersedia menjadi guru pendamping.

“Kami sudah mengajukan alternatif, yaitu guru pendamping dari jurusan Pendidikan atau PGSD, tapi ditolak oleh pihak sekolah dan yayasan. Kami sudah menyampaikan kesanggupan untuk menanggung seluruh biaya yang diperlukan, termasuk biaya pendampingan, evaluasi, dan supervisi dari psikolog anak. Namun, pihak sekolah tetap menolak memberikan keringanan terhadap persyaratan tersebut,” jelas Khelvin.

Hal yang paling disesalkan pihak keluarga adalah ada ketidakadilan dalam penerapan kebijakan sekolah. Sebab, beberapa siswa ABK di tingkat kelas yang lebih tinggi diketahui tidak didampingi oleh guru pendamping yang memenuhi syarat tersebut. Bahkan, sama sekali tidak ada guru pendampingnya.

Khelvin menilai, hal ini mengindikasikan adanya perlakuan berbeda terhadap sang anak yang melanggar prinsip kesetaraan dalam pendidikan.

Khelvin mengatakan, pihaknya telah meminta audiensi dengan Ketua Yayasan, Ketua Komite, Kepala Sekolah, dan Anggota Yayasan ditolak mentah-mentah oleh Kepala Sekolah. Menurutnya, penolakan tersebut menunjukkan kurangnya transparansi dan itikad baik dalam menyelesaikan masalah secara musyawarah. Semua upaya untuk berdiskusi dan mencari solusi terbaik demi kepentingan anak-anak berkebutuhan khusus ditutup sepihak.

“Sebagai orang tua, kami berharap ini tidak hanya dianggap sebagai keluhan saja, tetapi sebagai masukan konstruktif demi perbaikan sistem pendidikan inklusif di Kabupaten Sekadau. Untuk itu, kami memohon kepada Komisi 3 DPRD Kabupaten Sekadau turun tangan dalam mengawal hak-hak pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus,” pinta Khelvin.

Ia juga meminta agar DPRD Kabupaten Sekadau melakukan evaluasi terhadap kebijakan sekolah yang memberatkan orang tua serta mendorong fleksibilitas dalam kualifikasi guru pendamping agar lebih realistis dan sesuai kondisi lapangan.

Khelvin berharap para pemangku kepentingan dapat bekerja sama untuk melakukan pengawasan terhadap praktik pendidikan inklusif di sekolah-sekolah serta memastikan bahwa tidak ada lagi anak-anak yang mengalami hambatan administratif dalam mengakses pendidikan yang layak dan manusiawi. Untuk itu, ia mendorong agar dibuat kebijakan atau aturan yang tegas bagi sekolah guna mencegah terulangnya kejadian serupa di masa mendatang.

“Harapan kami agar kasus diskriminasi seperti yang dialami anak kami menjadi yang terakhir terjadi di dunia pendidikan Kabupaten Sekadau. Kami meyakini dengan dukungan DPRD dan kebijakan yang tepat, pendidikan inklusif yang adil dan ramah ABK dapat benar-benar terwujud di Kabupaten Sekadau,” harapnya.(AL)