Anggaran Transfer ke Daerah Dipangkas, Inspektur Sekadau: Momentum untuk Reformasi dan Efisiensi

Awan Yudha Setiawan SE, MM, Inspektur Pemerintah Daerah Kabupaten Sekadau. Foto ist.

HARIAN KALBAR (SEKADAU) – Rencana Pemerintah Pusat memangkas anggaran Transfer ke Daerah (TKD) dalam Rancangan APBN 2026 menuai perhatian publik, termasuk di Kabupaten Sekadau. Kebijakan efisiensi yang digaungkan Presiden Prabowo Subianto itu membuat alokasi TKD tahun 2026 direncanakan hanya sekitar Rp650 triliun, atau turun drastis sebesar Rp214 triliun dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp861 triliun — terendah dalam lima tahun terakhir.

Inspektur Pemda Sekadau, Awan Yuhda Setiawan SE, MM, menyikapi kebijakan ini sebagai langkah strategis pemerintah pusat untuk menekankan efisiensi belanja, sekaligus mengingatkan bahwa TKD bukan satu-satunya instrumen pemerataan kesejahteraan. “Kebijakan ini memang akan memicu diskusi hangat di ruang-ruang publik, terutama di kalangan ASN daerah, namun ini adalah arah kebijakan nasional yang perlu dimaknai dengan bijak,” ungkapnya pada Rabu 27 Agustus 2025.

Bacaan Lainnya

Menurut Awan, meskipun pemerintah pusat menjanjikan manfaat belanja pusat tetap akan dirasakan langsung oleh masyarakat, penurunan TKD tetap berisiko memperlemah fiskal daerah, mengganggu pelayanan publik, dan mendorong potensi kenaikan pajak daerah. Hal ini, lanjutnya, bisa berdampak pada beban masyarakat dan UMKM jika tidak dikelola secara hati-hati.

Lebih jauh, ia menilai kebijakan ini juga mencerminkan pergeseran arah dari semangat desentralisasi menuju bentuk sentralisasi fiskal yang lebih kuat. Untuk itu, perlu dipahami mengapa TKD mengalami penurunan signifikan.

Setidaknya ada dua alasan mendasar menurut Awan. Pertama, adanya pengalihan dana TKD ke belanja pusat agar program nasional bisa langsung dijalankan oleh kementerian dan lembaga. “Pemerintah pusat ingin memastikan program prioritas nasional memberikan dampak langsung ke masyarakat daerah,” jelasnya.

Kedua, strategi ini merupakan bentuk efisiensi dan pemerataan yang diharapkan tetap bisa dinikmati daerah melalui intervensi belanja pusat, terutama dalam sektor kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Namun, Awan tak menampik bahwa implikasi negatif tetap membayangi, terutama bagi daerah yang masih sangat bergantung pada TKD.

“Ruang fiskal daerah akan semakin menyempit, membuat Pemda kesulitan membiayai operasional dan pembangunan. Risiko lain adalah respons daerah dengan menaikkan pajak, yang jika tidak dikomunikasikan dengan baik bisa memicu resistensi sosial,” ujarnya.

Dalam situasi seperti ini, menurut Awan, Pemerintah Daerah harus segera mengambil langkah konkret dan strategis. Salah satunya adalah meningkatkan efektivitas pengelolaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui digitalisasi, pembaruan data objek pajak, serta pengawasan intensif di internal perangkat daerah dan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP).

Ia juga mendorong pengembangan PAD non-pajak melalui optimalisasi pemanfaatan Barang Milik Daerah (BMD) dan penyertaan modal ke BUMD. Sementara dalam hal perencanaan anggaran, Pemda harus mengutamakan pendekatan money follow program daripada money follow structure, agar setiap anggaran benar-benar mendukung pencapaian program prioritas.

Awan juga menekankan pentingnya menggali sumber pendanaan alternatif seperti Dana CSR dan menyinergikannya dengan program strategis daerah. Momentum ini, katanya, bisa digunakan untuk memperkuat tata kelola dan pengawasan anggaran melalui e-budgeting, e-audit, serta pelibatan masyarakat.

“Pada akhirnya, pemangkasan TKD bukan semata soal tekanan fiskal, tapi juga peluang untuk mereformasi sistem pengelolaan keuangan daerah secara menyeluruh — melalui inovasi, efisiensi, dan kedisiplinan anggaran, agar Pemda tetap mampu memberikan pelayanan publik yang optimal,” pungkasnya. (AL)