Mengenal Ayam Goreng Widuran yang Mengandung Minyak Babi

Mengenal Ayam Goreng Widuran yang Mengandung Minyak Babi. Foto ist.

HARIAN KALBAR (PONTIANAK) – Solo kembali jadi sorotan. Kali ini hanya soal ayam goreng. Puluhan tahun dinikmati, ternyata ada minyak babinya. Sambil seruput kopi liberika di teras rumah, mari kita investigasi cerita ayam goreng khas Solo ini.

Namanya, Ayam Goreng Widuran. Sebuah nama yang terdengar seperti judul sinetron Ramadan namun menyimpan tragedi eksistensial umat. Kini, menjadi topik perbincangan nasional. Restoran legendaris dari Solo yang katanya sudah berdiri sejak 1973 ini, selama puluhan tahun menyajikan ayam kampung goreng dengan kremesan renyah yang katanya autentik dan melegenda.

Lalu, ini bukan dalam konteks kosmologis Plato atau logika deduktif Aristoteles, tapi dalam bentuk realitas empirik bernama Ayam Goreng Widuran, sebuah institusi kuliner yang katanya berdiri sejak 1973, tahun di mana ayam masih dianggap makhluk suci dan babi belum menyusup ke dalam kremesan.

Konon, rasanya bikin jatuh cinta sejak suapan pertama, membuat banyak orang rela antre demi sekeping nostalgia berbumbu rempah-rempah. Tapi sayang, di balik kenikmatan itu ternyata tersembunyi kenyataan yang lebih kelam dari sejarah komunisme, kremesannya digoreng pakai minyak babi.

Betul. Minyak babi. Minyak yang oleh mayoritas umat Muslim dianggap haram secara eksplisit, bukan ambigu, bukan musyrik samar-samar. Fakta ini baru terkuak setelah lebih dari setengah abad umat Islam mengunyah dengan khusyuk, sambil mengucap syukur dan bahkan mungkin membacakan doa makan. Bayangkan, selama ini mereka berpikir sedang menyantap keberkahan ayam kampung, padahal sebenarnya sedang menggigit krisis spiritual beraroma gurih. Rasanya seperti menemukan bahwa air zam-zam yang kita simpan di botol kecil ternyata air galon isi ulang, dicampur sari jeruk nipis.

Reaksi masyarakat? Marah, kecewa, bingung, bahkan ada yang mendadak jadi filsuf dadakan. Muncul pertanyaan-pertanyaan mendalam seperti, “Kalau saya gak tahu itu haram, dosa gak?” atau “Kalau udah 10 kali makan baru tahu, berarti saya udah batal jadi ahli surga?” Ada juga yang lebih pragmatis, “Tapi enak sih, gimana dong?”

Di tengah kemarahan kolektif ini, pihak restoran baru mengaku dan mulai mencantumkan label non-halal secara terang-terangan. Ini seperti tetangga yang sudah 50 tahun buang sampah ke halaman kita, lalu baru bilang maaf setelah rumah kita penuh lalat. Permintaan maafnya terdengar lebih seperti formalitas administratif dari bentuk penyesalan spiritual. Umat Islam, yang selama ini percaya bahwa label halal adalah hak asasi dan bukan bonus opsional, merasa dikhianati lebih dalam dari kisah cinta segitiga di film Rhoma Irama.

Yang membuat ini makin teatrikal adalah pengakuan beberapa pelanggan yang bilang bahwa mereka pernah tanya langsung ke pelayan soal kehalalan makanan di sana, dan dijawab, “Halal, Mas.” Ternyata bukan cuma ayamnya yang dimarinasi, tapi juga informasi. Informasi yang digoreng dalam wajan ketidaktahuan atau mungkin kepura-puraan yang sangat crispy.

Kisah Ayam Goreng Widuran adalah metafora besar tentang bagaimana rasa bisa menipu iman. Ini adalah pengingat bahwa tidak semua yang gurih itu berkah, dan tidak semua kremesan layak dimaafkan. Lebih baik pedas karena jujur, daripada manis karena dusta. Mungkin di masa depan, kita perlu label baru, “Rasa boleh surgawi, tapi periksa dulu isi dapurnya.”

Kalau kata para tetua, jangan bohongi umat Islam. Kami bisa memaafkan, tapi kami juga bisa berhenti beli. Dalam dunia kapitalisme modern, kehilangan pelanggan Muslim bukan cuma soal bisnis, itu soal karma. Kremesan. Yang ternyata, bisa sangat menyeramkan.

Semoga ke depan, tidak ada lagi restoran yang diam-diam menyusupkan minyak hewan yang tak disebut dalam Kitab Suci ke dalam menu rakyat. Semoga umat kita, yang selama ini terpedaya oleh rasa, bisa kembali kepada jalan yang lurus. Jalan yang halal, sehat, dan tidak bikin kaget 50 tahun kemudian.

Karena pada akhirnya, kejujuran adalah bumbu paling penting. Bahkan lebih penting dari kremesan. (*)