HARIAN KALBAR (PONTIANAK) – Sungai Kapuas, yang membelah jantung Kota Pontianak, bukan hanya bentang alam, melainkan simbol identitas, sejarah, dan harapan masa depan. Di hadapan para peserta workshop, Wali Kota Pontianak Edi Rusdi Kamtono menegaskan bahwa sungai ini adalah denyut nadi kehidupan yang tak boleh dilupakan, apalagi diabaikan.
“Dulu transportasi utama itu sungai dan parit. Rumah panggung, pelabuhan, perdagangan—semua bermula dari tepian sungai. Sekarang saatnya menjadikan Sungai Kapuas kembali sebagai wajah kota,” ujarnya saat membuka Workshop Mendorong Aksi Kolaborasi untuk Mewujudkan Ketangguhan Sosial-ekologis dan Kebahagiaan Warga di Kawasan Tepian Sungai Kapuas, Kamis 2 Oktober 2025.
Mengingat kondisi pada era 1970-an, Edi menceritakan bagaimana sebagian besar wilayah Pontianak masih berupa daerah genangan. Air pasang yang masuk ke rumah menjadi hal biasa, hingga pembangunan mulai meninggikan jalan dan halaman pada 1990-an. Namun, masalah genangan tetap menghantui.
Sejak awal 2000-an, Pemkot mulai mendorong agar sungai tidak lagi dipandang sebagai bagian belakang kota. Tapi Edi mengakui, penataan kawasan tepian sungai tidaklah mudah. Infrastruktur di bantaran sungai menuntut biaya besar, terutama dari sisi pondasi.
Meski demikian, ia menegaskan penataan kawasan tepian sungai adalah prioritas. Ia menyebut perlu dukungan semua pihak—pemerintah pusat, akademisi, komunitas sipil, hingga masyarakat lokal. Pontianak, katanya, tak boleh kehilangan karakter khasnya sebagai kota sungai.
Kawasan pelabuhan Dwikora, Pasar Tengah, hingga permukiman di Bansir, Kampung Bangka, Dalam Bugis, dan Tambelan Sampit adalah wajah-wajah Pontianak yang hidup berdampingan dengan air. Program seperti waterfront Senghie hingga Kamboja sudah berdampak ekonomi, tapi Edi menilai sebagian besar justru dinikmati pendatang, bukan warga lokal.
“Wajah Pontianak ke depan harus ramah lingkungan, inklusif, tumbuh tanpa meninggalkan siapa pun, dan maju tanpa mengorbankan alam,” tegasnya. Visi itu tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025–2029.
Tahun 2026, menurutnya, menjadi titik penting konsolidasi kebijakan hijau. Dari regulasi infrastruktur ramah lingkungan, transportasi publik, energi terbarukan, hingga mitigasi bencana perkotaan—semuanya sedang disiapkan. Tantangan seperti urbanisasi yang menekan ruang, risiko banjir akibat iklim, dan minimnya ruang terbuka hijau jadi perhatian utama.
Pemkot juga telah menyusun program konkret. Salah satunya adalah revitalisasi tepian Kapuas menjadi ruang publik inklusif. Selain itu, Tempat Pengelolaan Akhir (TPA) Terpadu Batu Layang akan menjadi pusat pengelolaan sampah modern. Sistem Pengelolaan Air Limbah Domestik Terpusat ditargetkan menjangkau 16.500 rumah hingga tahun 2030.
Kualitas air Sungai Kapuas juga menjadi perhatian utama. Saat musim hujan, warna air berubah kemerahan karena larutan gambut. Padahal, Kapuas adalah sumber utama air baku PDAM Pontianak.
“Produksi air bersih kita jauh lebih mahal dibanding kota-kota di pegunungan. Menjaga Kapuas sama artinya menjaga kehidupan,” ujarnya.
Tak hanya infrastruktur, pemerataan akses terhadap air bersih, pendidikan, kesehatan, dan perumahan juga jadi prioritas. Program quick wins seperti fasilitas Rumah Packaging gratis untuk UMKM turut didorong agar pertumbuhan ekonomi berbasis jasa bisa dirasakan semua warga.
Edi menekankan bahwa pembangunan tidak boleh hanya didorong dari atas, tapi harus melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Musrenbang di Pontianak kini melibatkan anak-anak, perempuan, pemuda, hingga kelompok disabilitas.
“Kita pacu juga digitalisasi layanan publik agar lebih cepat, transparan, dan merata. Kota ini dibangun bukan hanya oleh pemerintah, tapi oleh semua,” tandasnya.
Di akhir sambutannya, Edi mengajak seluruh warga Pontianak untuk bersahabat dengan alam dan saling menjaga.
“Pontianak bukan sekadar kota, tapi rumah bagi kita semua. Rumah yang ramah pada alam, warganya, dan masa depannya,” pungkasnya. (*)