HARIAN KALBAR (PONTIANAK) – Keluhan warga terkait kursi publik di kawasan waterfront tepian Sungai Kapuas yang dikuasai oleh pedagang kaki lima (PKL) akhirnya ditindaklanjuti. Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Pontianak bersama Babinsa dan Bhabinkamtibmas turun langsung ke lokasi untuk menertibkan pedagang yang meletakkan dagangannya di atas fasilitas umum, terutama kursi yang seharusnya bisa digunakan bebas oleh masyarakat.
Aksi penertiban dilakukan menyusul beredarnya keluhan di media sosial mengenai PKL yang melarang warga duduk kecuali membeli minuman yang mereka jual. Padahal, kursi-kursi tersebut merupakan fasilitas publik yang disediakan untuk semua orang.
Kepala Satpol PP Kota Pontianak Ahmad Sudiyantoro menegaskan, pihaknya tidak akan mentolerir adanya penguasaan ruang publik oleh oknum pedagang. Menurutnya, kawasan seperti waterfront harus tetap menjadi ruang terbuka yang bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat tanpa paksaan atau syarat apapun.
“Tempat duduk yang tersedia di waterfront itu milik publik, bukan milik pribadi ataupun pedagang. Siapa pun berhak duduk dan menikmati suasana tepian Sungai Kapuas tanpa harus membeli sesuatu,” ujarnya usai kegiatan penertiban pada Minggu 22 Juni 2025.
Satpol PP telah memberikan peringatan keras kepada para pedagang yang terbukti melanggar aturan. Jika pelanggaran serupa terulang, pihaknya akan mengambil tindakan tegas tanpa kompromi. Ia juga mengajak warga untuk aktif melapor jika menemukan kejadian serupa, baik secara langsung maupun melalui kanal pengaduan resmi milik Pemerintah Kota Pontianak.
Langkah cepat ini mendapat apresiasi dari warga yang merasa kawasan publik memang seharusnya dijaga untuk kenyamanan bersama. Seperti yang disampaikan Yuni (34), seorang pengunjung yang mengaku pernah mengalami kejadian tidak menyenangkan saat hendak duduk namun diminta membeli terlebih dahulu oleh pedagang.
“Padahal itu kursi umum, bukan warung. Kita ke sini untuk santai menikmati pemandangan, bukan langsung dipaksa beli. Tindakan seperti itu bikin malas datang,” keluhnya.
Hal senada diungkapkan Rafi (27), yang menilai bahwa berjualan sah-sah saja selama tidak mengganggu hak publik. Ia berharap pedagang tetap diberikan ruang untuk mencari nafkah, namun tanpa melanggar batas kenyamanan pengunjung.
“Silakan saja berdagang, itu rezeki. Tapi jangan sampai fasilitas umum dikuasai sendiri. Kalau semua pedagang begitu, nanti warga biasa nggak punya ruang lagi,” ujarnya.
Warga berharap pemerintah terus melakukan penataan dan pengawasan rutin agar waterfront tetap menjadi ruang publik yang bersih, nyaman, dan inklusif bagi seluruh kalangan. (*)