HARIAN KALBAR (SURABAYA) — Gemerlap panggung Grand City Surabaya menjadi saksi keberhasilan Kota Pontianak yang berhasil mencuri perhatian publik dan dewan juri dalam ajang Indonesian International Arts Festival 2025. Melalui Tarian Sulam Kalengkang, delegasi Kota Pontianak sukses meraih Juara III Penampilan Terbaik, bersaing dengan perwakilan dari 98 kota se-Indonesia.
Festival yang merupakan bagian dari rangkaian Musyawarah Nasional (Munas) VII Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) ini menjadi ajang bergengsi bagi daerah-daerah untuk unjuk kebolehan seni dan budaya.
“Ini adalah bukti bahwa kesenian dan budaya Pontianak mampu bersinar di panggung nasional,” ujar Wali Kota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono, Sabtu 10 Mei 2025.
Tarian Sulam Kalengkang ditampilkan dengan memukau oleh sepuluh penari, diiringi tujuh pemusik dan satu penyanyi. Pertunjukan ini tidak hanya menonjolkan keindahan gerak, tetapi juga membawa pesan mendalam tentang proses kreatif dan warisan budaya Melayu, terutama tradisi menyulam pada Pengidang, alat khas yang digunakan dalam proses menyulam kain.
Gerak tari menggambarkan aktivitas menggulung dan membentangkan kain sebagai simbol harapan dan permulaan penciptaan, menciptakan harmoni antara makna simbolik dan estetika gerak.
Wali Kota Edi Kamtono menegaskan, capaian ini tidak hanya menjadi kebanggaan dalam bidang seni, namun juga sebagai momentum penting untuk memperkenalkan budaya dan pariwisata Pontianak di tingkat nasional.
“Ini bukan sekadar prestasi seni, melainkan juga langkah strategis untuk mempromosikan potensi wisata dan kekayaan budaya Kota Pontianak,” tambahnya.
Dalam acara penutupan Indonesia City Expo, penghargaan diserahkan langsung oleh Direktur Eksekutif APEKSI Pusat, Alwis Rustam, kepada Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Setda Kota Pontianak, Iwan Amriady, mewakili Pemerintah Kota Pontianak.
Koordinator Tim Kesenian Kota Pontianak, Wasis, menjelaskan bahwa Tarian Sulam Kalengkang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTB). Tarian ini menampilkan detail gerakan Tahto dan Langkah Nyulam, yang menyimbolkan proses penyulaman dan memperlihatkan motif halus khas budaya Melayu.
“Kalengkang di akhir tarian menjadi puncak pertunjukan yang menyimbolkan keterhubungan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan,” jelas Wasis.
Pertunjukan ditutup dengan salam penghormatan dari para penari, sebagai bentuk dedikasi mereka terhadap pelestarian budaya.
“Melalui tarian ini, kami ingin menjadikan seni gerak sebagai media abadi untuk menjaga, merawat, dan menghidupkan kembali nilai-nilai tradisi kita,” pungkas Wasis. (*)