HARIAN KALBAR (PONTIANAK) – Pemerintah Kota (Pemkot) Pontianak menunjukkan komitmennya dalam mengatasi kawasan kumuh, khususnya yang terletak di tepian Sungai Kapuas. Namun, berbagai kendala masih menjadi tantangan, terutama saat pengajuan Dana Alokasi Khusus Terintegrasi (DAKIN) ke Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk penataan kawasan kumuh di Gang Mendawai, Kelurahan Bansir Laut, ditolak karena masalah konsolidasi tanah.
Menyikapi kegagalan tersebut, Pemkot Pontianak melalui Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) mengadakan Focus Group Discussion (FGD) mengenai Garis Sempadan Sungai (GSS) dan pengurangan kawasan kumuh di Hotel Harris Pontianak, Kamis, 31 Oktober 2024.
Penjabat Wali Kota Pontianak, Ani Sofian, menjelaskan bahwa salah satu penyebab utama penolakan DAKIN adalah ketidakmampuan sebagian warga untuk menunjukkan sertifikat tanah yang terkena GSS. “Polemik muncul ketika patok GSS memiliki persepsi yang berbeda-beda, baik dari Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) maupun hasil pengukuran Balai Wilayah Sungai Kalimantan (BWSK) I,” ujarnya.
Ani Sofian menekankan pentingnya komitmen bersama untuk mengatasi masalah ini. “Jika keadaan tidak disesuaikan dan ditindaklanjuti dengan jelas, maka upaya pengentasan kawasan kumuh di tepian sungai akan sulit direalisasikan,” tegasnya.
Belajar dari praktik di daerah lain, Ani menilai pembangunan infrastruktur yang akomodatif dapat dicapai melalui kompromi dalam pengaturan. “Pemkot Pontianak berkomitmen untuk mengentaskan permukiman kumuh hingga nol, meskipun tantangan dan hambatan dari segi sosial, alam, dan peraturan tetap ada,” tambahnya.
Melalui forum ini, Ani berharap peserta dapat bertukar pikiran untuk menyamakan persepsi dan menemukan solusi sinergis antara penetapan GSS dan penanganan kawasan kumuh. “Hasil diskusi akan disampaikan kepada pemerintah pusat agar menjadi pertimbangan dalam pengaturan penanganan permukiman di tepian sungai,” ujarnya.
Ketua Panitia FGD, Alfri, menekankan bahwa forum ini diadakan untuk mencapai tujuan ambisius mengentaskan permukiman kumuh menjadi nihil. “Kawasan tepian Sungai Kapuas harus ditangani dengan baik, meskipun banyak tantangan yang dihadapi,” ujarnya.
Alfri juga menyebutkan bahwa penolakan DAKIN disebabkan oleh penerapan GSS yang membingungkan, yang mengakibatkan kesulitan dalam memberikan sertifikat tanah kepada warga. “Kami ingin menjadikan kawasan tersebut sebagai kawasan percontohan dengan nilai heritage, tetapi patok GSS yang belum jelas menghambat upaya tersebut,” jelasnya.
Dengan melibatkan empat narasumber dari berbagai disiplin ilmu, FGD ini bertujuan untuk merumuskan aturan yang lebih jelas terkait GSS. “Kami berharap penataan kawasan tepian sungai akan lebih baik ke depannya,” tutupnya. (*)