Ketua PWI Kalbar: Dari Pena ke Piksel, Wartawan Harus Melek Digital Tanpa Lupa Etika

Ketua PWI Kalbar, Kundori, saat diundang dalam talkshow bertajuk “Dari Pena ke Piksel, Transformasi Dunia Pers”. Foto ist.

HARIAN KALBAR (PONTIANAK) – Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kalimantan Barat, Kundori, membagikan pandangan dan pengalamannya mengenai perubahan besar dunia jurnalistik dari era konvensional menuju era digital dalam talkshow bertajuk “Dari Pena ke Piksel: Transformasi Dunia Pers” yang digelar Radio Sonora Pontianak di Gedung Kompas Gramedia, Jalan Hos Cokroaminoto, Pontianak, Rabu 5 November 2025.

Dalam kesempatan itu, Kundori mengisahkan awal perjalanannya menjadi wartawan di masa ketika teknologi masih sangat terbatas. Ia mengingat bagaimana seorang jurnalis pada masa itu harus turun langsung ke lapangan untuk meliput berita dan menjalani seluruh proses penulisan, penyuntingan, hingga percetakan secara manual.

Bacaan Lainnya

“Dulu, saat saya masih kuliah, saya sudah menjadi pendiri warta kampus yang meliput berbagai kegiatan di lingkungan kampus. Semua dilakukan secara sederhana, tanpa dukungan teknologi seperti sekarang,” kenangnya.

Menurutnya, perubahan dari era media cetak ke era digital merupakan lompatan besar yang mengubah wajah dunia pers secara mendasar. Jika dulu jangkauan media konvensional terbatas pada wilayah tertentu, kini informasi bisa menyebar luas hanya dalam hitungan detik melalui berbagai platform digital.

“Kalau dulu prosesnya panjang — dari peliputan, penyuntingan, percetakan, sampai distribusi — kini semua bisa dilakukan secara instan. Informasi dapat diakses di mana pun dan kapan pun,” ujarnya.

Kundori menjelaskan, transformasi digital juga membuka ruang interaksi dua arah antara media dan pembaca. “Sekarang audiens bisa langsung berinteraksi lewat telepon, kolom komentar, atau media sosial. Ini berbeda dengan era pena yang komunikasinya satu arah,” katanya.

Meski begitu, ia menilai kemudahan di era digital membawa tantangan tersendiri. Arus informasi yang cepat sering kali diikuti oleh maraknya hoaks, misinformasi, dan praktik clickbait yang bisa merusak kepercayaan publik terhadap media.

“Tantangan terbesar saat ini adalah hoaks, misinformasi, dan clickbait yang masih marak. Ini menjadi tanggung jawab bersama bagi insan pers untuk menjaga kredibilitas informasi,” tegasnya.

Kundori menekankan bahwa wartawan masa kini harus adaptif terhadap perkembangan teknologi tanpa melupakan nilai dasar profesinya. Seorang jurnalis tidak cukup hanya bisa menulis, tetapi juga harus menguasai keterampilan multimedia seperti fotografi, videografi, podcast, dan live report.

“Di era digital, penguasaan multimedia menjadi keharusan. Namun, yang terpenting tetap etika jurnalistik. Jangan hanya cepat, tapi juga harus akurat dan bisa dipertanggungjawabkan. Karena kalau berita tidak benar, secepat apa pun disampaikan tetap tidak bermanfaat bagi publik,” tutupnya. (*)