HARIAN KALBAR (PONTIANAK) – Akademisi, praktisi, komunitas, masyarakat, dan pemerintah Kota Pontianak sepakat untuk mengusulkan pembentukan Kelompok Kerja Tata Kelola Gambut. Usulan ini merupakan hasil dari diskusi terfokus bertema “Tata Kelola Kawasan Gambut: Menjawab Tantangan Banjir dan Kebakaran Lahan di Kota Pontianak”, yang digelar oleh Bappeda Kota Pontianak pada Kamis, 21 November 2024.
Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura, Farah Diba, mengungkapkan bahwa pengelolaan lahan gambut memerlukan kolaborasi lintas sektor, termasuk pemerintah, swasta, masyarakat, dan lembaga internasional. Pendekatan holistik berbasis ilmu pengetahuan menjadi kunci untuk memastikan keberlanjutan lahan gambut.
Farah menekankan bahwa lahan gambut memiliki peran penting dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari pencegahan banjir, pengelolaan air, mitigasi kebakaran lahan, hingga pengurangan emisi gas rumah kaca. Selain itu, lahan gambut juga dapat dimanfaatkan sebagai kawasan ekowisata.
“Tata kelola gambut ke depan harus mencakup perlindungan lahan gambut yang masih utuh, restorasi lahan yang terdegradasi, serta penerapan praktik berkelanjutan di kawasan budidaya,” jelas Farah.
Guru Besar Fakultas Kehutanan Untan, Prof. Gusti Hardiansyah, menjelaskan bahwa Kota Pontianak memiliki tiga Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG), yang meliputi Sungai Kapuas-Sungai Ambawang, Sungai Kapuas-Sungai Mandor, dan Sungai Punggur Besar-Sungai Kapuas. Masing-masing wilayah ini memerlukan pendekatan perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut yang serius.
“Pemprov Kalbar, Pemkot Pontianak, perguruan tinggi, organisasi masyarakat sipil, swasta, dan masyarakat harus terlibat dalam perlindungan, pemanfaatan, pengendalian, dan restorasi ekosistem gambut,” kata Prof. Gusti.
Tantangan utama ekosistem gambut, menurutnya, adalah aktivitas manusia yang dapat merusak keseimbangan ekosistem. Oleh karena itu, pengelolaan gambut harus memperhatikan aspek sosial dan ekonomi, selain aspek biofisik seperti habitat keanekaragaman hayati dan penyimpanan karbon.
Eko Prihandono, Kepala Bidang Litbang Bappeda Pontianak, menjelaskan bahwa luas lahan gambut di Kota Pontianak mencapai 858,4 hektar atau 7,96 persen dari total luas kota. Lahan gambut ini tersebar di tiga kecamatan, yaitu Pontianak Tenggara, Pontianak Selatan, dan Pontianak Utara. Di Pontianak Utara, sebagian lahan gambut telah dimanfaatkan untuk budidaya, sementara di kecamatan lainnya sering terjadi kebakaran lahan.
“Di Pontianak Selatan dan Tenggara, kita perlu intervensi lebih lanjut, karena sering terjadi kebakaran. Gambut harusnya juga berfungsi sebagai daerah resapan air saat hujan. Kami akan memetakan tata kelola gambut untuk mitigasi bencana di skala kota,” jelas Eko.
Diskusi ini juga membuka peluang untuk mendapatkan bantuan dari pihak luar, seperti dana dari Proyek Green Climate Fund yang sudah diterima Provinsi Kalbar. Dana tersebut dapat dimanfaatkan untuk tata kelola gambut dan meningkatkan ketahanan kota terhadap bencana.
“Hasil diskusi dengan berbagai stakeholder akan kami konkretkan dalam perencanaan kota, untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan wilayah gambut di Pontianak,” tutup Eko. (*)