Lewat Festival Saprahan, Pelajar Pontianak Ditanamkan Cinta Budaya Sejak Dini

Wakil Wali Kota Pontianak Bahasan membuka Festival Saprahan Pelajar SMP atau MTs se-Kota Pontianak. Foto ist.

HARIAN KALBAR (PONTIANAK) – Suasana hangat penuh semangat kebersamaan menyelimuti Rumah Adat Melayu saat ratusan pelajar SMP dan MTs dari berbagai penjuru Kota Pontianak duduk bersila menikmati sajian khas tradisi saprahan. Dalam momen yang sarat nilai ini, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Pontianak kembali menggelar Festival Saprahan Pelajar SMP/MTs se-Kota Pontianak, Rabu 1 Oktober 2025.

Sebanyak 13 kelompok pelajar dari SMP dan MTs negeri/swasta ikut ambil bagian dalam festival yang bertujuan melestarikan budaya Melayu sekaligus menanamkan nilai-nilai kearifan lokal sejak usia dini.

Bacaan Lainnya
Fistival Saprahan pelajar merupaka ajang melestariakan budaya Melayu Pontianak. Foto ist.

Wakil Wali Kota Pontianak, Bahasan, yang membuka secara resmi festival tersebut, menekankan pentingnya membangun kesadaran budaya di kalangan generasi muda. Ia menyebut tradisi saprahan bukan hanya ritual makan bersama, tetapi juga simbol kebersamaan, kesetaraan, dan gotong royong yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat Melayu.

“Festival ini bukan sekadar seremonial. Ini adalah bentuk kepedulian kita dalam menjaga akar budaya. Anak-anak kita perlu dikenalkan, bahkan dilibatkan langsung, agar budaya tidak hanya dikenang, tapi terus hidup dalam praktik sehari-hari,” tegasnya.

Bahasan mengapresiasi antusiasme para pelajar yang menunjukkan semangat luar biasa dalam memaknai tradisi tersebut. Ia berharap kegiatan ini dapat terus berlanjut dan berkembang menjadi bagian penting dalam sistem pendidikan berbasis karakter di Pontianak.

Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Pontianak, Sri Sujiarti, menjelaskan bahwa Festival Saprahan menjadi bagian dari pembelajaran kontekstual yang memperkaya pengalaman siswa. Bukan hanya mengenal sejarah budaya, tetapi juga mempraktikkan nilai-nilai sosial seperti kebersamaan, empati, dan tanggung jawab.

“Di balik nasi dan lauk pauk yang disantap bersama, tersimpan pelajaran berharga tentang bagaimana kita hidup berdampingan, saling menghargai, dan menjaga harmoni dalam keberagaman,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa pelestarian budaya harus berjalan beriringan dengan dunia pendidikan. Festival seperti ini diyakini mampu memperkuat karakter peserta didik dan menumbuhkan rasa bangga terhadap identitas lokal.

Dengan penuh semangat, para peserta festival mengikuti setiap prosesi saprahan—dari persiapan hidangan hingga tata cara duduk dan penyajian makanan sesuai adat istiadat. Para guru dan pembina sekolah pun turut mendampingi dan memberikan edukasi langsung kepada siswa.

Festival Saprahan kini menjadi agenda tahunan Pemkot Pontianak yang tidak hanya berfungsi sebagai pelestarian budaya, tapi juga wahana edukasi lintas generasi. Sebuah langkah sederhana namun bermakna besar untuk menjaga agar nilai-nilai kearifan lokal tetap hidup di tengah arus modernisasi. (*)