HARIAN KALBAR (PONTIANAK) – Inovasi ramah lingkungan kembali lahir dari Kota Pontianak. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) setempat berhasil mengolah sampah plastik jenis kresek menjadi bahan bakar alternatif menggunakan teknologi pirolisis dan destilasi. Hasilnya? Minyak bakar yang kini sudah digunakan untuk menggerakkan kendaraan operasional mereka.
Kepala DLH Kota Pontianak, Syarif Usmulyono, menjelaskan bahwa pengolahan dimulai dari pemilahan sampah oleh masyarakat. Jika sudah dipilah, proses bisa langsung berjalan tanpa pencucian. Namun, jika belum, sampah plastik harus dicuci dan dijemur terlebih dahulu sebelum masuk tahap pemanasan.
Dari proses pirolisis, satu kilogram plastik bisa menghasilkan sekitar satu liter minyak. Minyak ini kini digunakan untuk kendaraan roda tiga (tosa) milik DLH dan diproduksi rutin sebanyak tiga kali seminggu dengan kapasitas 100 liter per produksi—sekitar 300 liter per pekan.
“Artinya, sampah bisa berubah jadi bahan bakar. Kalau produksi bisa ditingkatkan, bukan tidak mungkin ke depan bisa kita pasarkan,” kata Usmulyono optimistis, Kamis 11 September 2025.
Ia menambahkan, dari proses ini bisa dihasilkan tiga jenis bahan bakar: menyerupai bensin, solar, atau minyak tanah, tergantung suhu saat pemanasan. Inovasi ini bukan hanya menjawab masalah sampah plastik, tapi juga membuka peluang besar untuk energi alternatif lokal.
Dengan volume sampah plastik di Pontianak mencapai 9 ton per hari, potensi pengembangan sangat besar. DLH bahkan sedang merancang program insentif berupa penukaran sampah plastik terpilah dengan minyak bakar. Warga yang membawa plastik bersih bisa mendapatkan solar atau bensin alternatif sebagai imbalan.
Meski demikian, Usmulyono menegaskan bahwa produk ini bukan bahan bakar minyak (BBM) resmi seperti yang diproduksi Pertamina.
“Ini dikategorikan sebagai minyak bakar, bukan BBM. Karena BBM harus lolos uji laboratorium dan berada di bawah pengawasan ketat. Tapi minyak bakar bisa digunakan secara legal untuk keperluan internal dan diperjualbelikan secara bebas,” ujarnya.
Inovasi ini tidak hanya mengurangi sampah, tetapi juga memberi harapan baru akan kemandirian energi dari bahan-bahan yang sebelumnya dianggap tak bernilai. (*)